KECEMASAN SEORANG MURABBI (Seri Indonesia Membina)
📮📮📮🇲🇨📮📮📮
KECEMASAN SEORANG MURABBI
(Seri Indonesia Membina)
@ Dwi Budiyanto
Saya membayangkan Khalifah Abu Bakar hari itu, sekitar Juli 632 M. Baru saja Umar bin Khathab berbicara di hadapannya tentang cara menghadapi kabilah-kabilah Arab yang murtad dan menolak membayar zakat.
“Wahai Khalifah,” kata Umar, “Bujuklah orang-orang dan bersikap lembutlah kepada mereka.”
Pernyataan itu tak pernah diduga. “Aku berharap kamu akan menolongku, bukan malah melemahkanku,” kata Khalifah Abu Bakar.
Saya membayangkan beliau kaget dengan perkataan Umar bin Khathab. “Apakah kamu ini orang yang sombong di masa jahiliyah lalu menjadi penakut di masa Islam? Wahyu telah terputus, agama ini telah sempurna.” Saya bayangkan banyak orang kaget melihat reaksi khalifah.
Lalu setelahnya kita mengingat perkataan Khalifah Abu Bakar. Sebuah pertanyaan singkat, tapi menjadi renungan panjang untuk kita.
أَيَنْقُصُ الإِسْلاَمُ وَ أَنَا حَيٌّ؟
“Apakah Islam akan berkurang sementara aku masih hidup?”
Saya membayangkan Khalifah Abu Bakar hari itu, di tahun 632 M, ketika berkata: *apakah Islam akan berkurang sementara aku masih hidup?* Pertanyaan itu terasa keluar dari jiwa yang bergemuruh.
Dari dalamnya terpancar kuatnya _ruhul mas’uliyah_, spirit pertanggungjawaban seorang dai atas dinamika dakwah yang dihadapinya. Semangat pertanggungjawaban itulah yang menghadirkan kekhawatiran dalam diri dai dan murabbi, tentang perkembangan dakwah dan pertumbuhan kader-kadernya.
Tidak layak dakwah surut dan kader-kadernya menyusut, sementara dirinya sebagai dai masih hidup. Inilah kecemasan seorang murabbi. Ia tidak mencemaskan dirinya. Ia lebih mengkhawatirkan keberlanjutan dakwah sepeninggalnya.
Kenapa? Seperti dituturkan Ustadz Aunur Rofiq Saleh Tamhid dalam peluncuran Gerakan Indonesia Membina (20/5/2024) di Yogyakarta, ada “nufusun dzahibatun”, ada jiwa-jiwa yang telah pergi meninggalkan kita.
Dulu mereka menjadi pembina handal dan produktif, karena sunatullah, mereka telah meninggalkan kita. Sementara itu, penggantinya belum hadir sehingga terjadilah kelangkaan dan keterputusan murabbi.
Keterputusan inilah yang meresahkan beberapa orang nabi. Salah satunya adalah Nabi Ya’qub a.s.
Menjelang kematiannya, ia panggil anak-anaknya. Alquran mengisahkan kecemasan itu.
أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya" (*Q.s. Al-Baqarah: 133*).
Saat itu, setelah membacakan ayat di atas, Ustadz Aunur Rofiq mengatakan, “Kalau kita pewaris para Nabi, harusnya kita juga resah dengan situasi kelesuan pembinaan kita. Jangan-jangan sepeninggal kita dakwah ini tidak ada lagi yang melanjutkan. _Maa ta’buduuna mimba’di_. Siapa nanti yang akan memikul tanggung jawab estafeta dakwah ini? Kalau kita sekarang tidak mewariskannya.”
Para dai yang menyadari perannya sebagai “pemanggul amanah dakwah” senantiasa memiliki keresahan serupa.
Apakah dakwah akan surut dan kader-kadernya makin susut, sementara kita masih meger-meger? Apakah dakwah akan makin tak terdengar dan kader-kadernya banyak terlantar, sementara kita masih segar bugar? Apakah dakwah makin tak terurus, sementara kita duduk sebagai pengurus?
Hari-hari ini marilah kita bertanya pada diri sendiri: dimanakah kita taruh rasa resah kita? Pada stagnannya rekrutmen dakwah, atau pada posisi jabatan kita yang berpotensi goyah? Pada pembinaan dakwah yang surut, atau pada keuntungan duniawi yang luput?
Bersyukur ketika hari-hari ini Allah bangkitkan kembali rasa resah terhadap dinamika dakwah kita.
Semoga ia menjadi pertanda tumbuhnya _ruhul mas’uliyah_ di dalam diri.
Dari keresahan itu semoga Allah Swt. kuatkan tekad untuk ambil tanggung jawab. Semangat untuk mengambil tanggung jawab inilah yang sekarang dihajatkan.
Kita lakukan yang bisa dilakukan untuk menjadikan dakwah dan pembinaan menjadi gumregah.
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali (*Q.s. Hud: 88*).
Spirit untuk mengambil peran dalam kerja-kerja dakwah dan pembinaan harus terus ditumbuhkan dalam diri para dai. Setiap kita punya kesibukan. Setiap kita punya beban. Setiap kita punya tugas masing-masing.
Mereka yang memiliki _ruhul mas’uliyah_-lah yang akan merasa resah, lalu mengingat kembali adagium dakwah: _inna al-akh ash-shadiq laa budda an-yakuuna murrabbiyan_ (Seorang al-akh sejati tidak boleh tidak haruslah menjadi murabbi). Inilah spirit yang menggerakkan generasi awal dakwah ini untuk produktif membina.
Rasanya sudah lama sekali kalimat ini tak melintas dalam ingatan kita. Mungkin juga sudah lama absen dari obrolan di kelas-kelas pembinaan kita. Lama sekali. []
#gumregahtarbiyah
#IndonesiaMembina
Comments
Post a Comment