Menjadi Murrobi adalah Karir Terbaik
📮📮📮📮📮
MENJADI MURABBI ADALAH KARIR TERBAIK
Seri Narasi Indonesia Membina
@ Dwi Budiyanto
Selepas menyimak taujih Ustadz Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc. pada 20 Mei 2024 di Pendopo Museum Pangeran Diponegoro Yogyakarta dalam peluncuran _Gerakan Indonesia Membina_, saya seperti diseret untuk menyimak kembali taujih beliau di _Program Napak Tilas Pemikiran Dakwah_ edisi ke-24 pada awal Juni 2023, yang dokumentasinya saya temukan di Youtube Ngajibareng Media.
Saya pun terdorong mencermati tulisan-tulisan beliau, terutama yang telah dihimpun dalam buku “Pesan-Pesan Tarbawi untuk Para Murabbi” (2024). Seluruh pesan itu terulang secara konsisten: _jadikan dakwah sebagai jalan hidup_.
Setelah rentang waktu yang panjang, kadang orientasi kita untuk membina terdistraksi oleh banyak hal. Fokus dan perhatian kita dapat bergeser tanpa pernah disadari.
Kadang kala tuntutan karir mengalihkan perhatian kita untuk membina. Seringkali target-target politik menggerus fokus kita dalam kerja-kerja tarbiyah dan pembinaan.
Mungkin pula desakan kebutuhan menjadikan kita 'kemrungsung' dan cemas dalam hidup sehingga enteng meninggalkan tugas-tugas dakwah dan pembinaan. Atau, bisa juga kekecewaan di jalan dakwah menjerumuskan kita dalam disersi dari komunitas dakwah. Banyak hal mampu menjadikan orientasi kita dalam dakwah menjadi majal.
Itulah sebabnya, pesan dari guru-guru kita agar selalu menjadikan dakwah sebagai jalan hidup sangat penting. Inilah pesan nubuwah yang akan selalu meluruskan orientasi para dai dan murabbi. Demikianlah pesan Allah Swt. dalam Alquran yang sering disitir guru-guru kita.
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah, "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (*Q.s. Yusuf: 108*).
Menurut Ustadz Aunur Rafiq Saleh Tamhid, ayat ini memerintahkan setiap muslim agar menjadikan dakwah sebagai jalan hidup. Yakni, menjadikan umur dan semua karunia Allah Swt. untuk mengajak manusia kepada-Nya. Tidak hanya untuk makan dan bersenang-senang.
Nah, menurut beliau, kunci utamanya adalah cinta terhadap Islam. Cinta inilah yang akan menumbuhkan _ghirah Islamiyyah_, gairah dan semangat keislaman yang sangat kuat. Jika _ghirah Islamiyyah_ telah tumbuh maka seseorang akan memiliki kepekaan untuk membaca setiap peluang dakwah. Selain itu, ia akan senantiasa menemukan cara untuk menunaikan amal-amal dakwah.
Ketika dakwah telah menjadi “jalan hidup”, bahkan “gaya hidup” maka segala peluang dakwah terbuka. Akan tetapi, ketika dakwah dan membina tidak lagi menjadi jalan hidup, peluang apapun yang dijumpai senantiasa direspon sebagai ketidakmungkinan, bahkan dianggap hal yang mustahil dan sulit untuk dilakukan.
Sebagai ilustrasi, bagi orang yang menjadikan joging sebagai “gaya hidup”, waktu sependek apapun, masih mungkin digunakan untuk joging.
Di tengah kesibukan sepadat apapun, ia akan selalu mampu menyisihkan waktu untuk joging. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak menjadikan joging sebagai gaya hidup, waktu seluas apapun akan sulit untuk mengagendakannya. Demikian pula halnya dengan dakwah.
Mari kita mengingat penuturan Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam _Fiqhud-da’wah al-Fardiyyah fil Manhajil Islami_.
Suatu saat Syaikh Hasan al-Banna sedang bepergian di wilayah Khadhra’ di Mesir, bersama Abbas As-Siisi. Sesampai di sebuah traffic light, mereka berhenti. Sejenak saja. Rupanya Hasan al-Banna melihat persediaan air di depan pos jaga polisi lalu lintas itu.
Beliau turun dari mobil dan berjalan mendekati pos jaga polisi untuk minta air. Pak polisi merasa gembira dan mempersilahkan beliau untuk minum secukupnya.
Dalam momentum yang singkat itu, Hasan al-Banna terlihat berbincang akrab dengan polisi di pos jaga. Setelahnya ia bergegas kembali ke mobil.
Ketika mobil telah bergerak lagi, dengan penuh keheranan, Abbas As-Siisi memberanikan diri berkomentar, “Bisa jadi air yang sedikit tadi tidak sehat lho.”
Saya bayangkan Hasan al-Banna tersenyum. “Kita telah berhenti sesaat,” kata lelaki berwajah teduh itu, “Nah, kita mesti mengambil manfaat dari yang sesaat tadi untuk _nashr ad-da’wah_, menyebarkan dakwah.”
Begitulah saat dakwah telah menjadi jalan hidup. Sependek apapun waktu yang dimiliki untuk membangun interaksi dengan sesama, ia akan dimanfaatkan untuk berdakwah.
Semustahil apapun sebuah interaksi dibangun, para dai tidak akan pernah ‘mati gaya’ untuk membangun hubungan dengan objek dakwah.
Tumpukan tugas dakwah hanya akan dapat ditunaikan oleh mereka yang menjadikan dakwah dan tarbiyah sebagai jalan hidupnya. Selama orientasinya tertuju pada selain itu, seseorang akan merasa berat untuk menunaikannya. Ia akan cenderung gampang berkelit, mangkir, dan tak peduli dengan tugas-tugas pembinaan.
Satu jam terasa mungkin untuk nongki-nongki bareng kolega. Tapi waktu yang sama seakan mustahil untuk kelas pembinaan.
Para dai harus terus menguatkan pemahaman bahwa dakwah dan membina adalah karir terbaik dalam hidup yang sekali-kalinya di dunia ini.
Kenapa? Ustadz Aunur Rafiq Saleh Tamhid menegaskan, “Sebab dakwah adalah jalan hidup paling mulia.”
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang salih, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (*Q.s. Fushshilat: 33*).
Meski membina adalah karir terbaik, belum tentu di komunitas dakwah sekalipun, Anda akan mendapat pujian lebih dari ketika Anda menjadi pejabat, dapat gelar akademik tertinggi, atau memeroleh prestasi yang membuat decak kagum.
Mungkin karena selera kekaguman kita saat ini mulai bergeser atau karena memang begitulah tabiat jalan sang murabbi.
Kita sedang menempuhi jalan sunyi. Tapi yakin saja, membina tetap karir terbaik dalam pandangan Allah Swt. []
#IndonesiaMembina
#GumregahTarbiyah
Comments
Post a Comment