NALURI SEORANG DAI
NALURI SEORANG DAI
(Seri Indonesia Membina)
@ Dwi Budiyanto
Ada sebuah cerita menarik yang dituturkan Syaikh Abbas As-Siisi dalam “Ath-Thariq ilal Qulub”. Kitab kecil itu dianggit pada 1983 dan mengalami cetak ulang berkali-kali setelahnya. Mungkin karena isinya yang ringan, ringkas, dan menyentuh pembaca.
Seorang lelaki suatu saat mendekatinya. Saya bayangkan ia mengalami kegundahan tentang bagaimana cara merekrut dan berdakwah. “Syaikh ajarkan pada kami kiat sukses untuk mengikat hati?” Begitu kira-kira pertanyaan yang diajukan.
“Kita menyadari bahwa semua manusia itu sama,” kata Syaikh Abbas As-Siisi mengawali jawabannya. “Itu semua tercermin ketika kita di masjid. Yang miskin duduk berdampingan dengan yang kaya. Yang lemah duduk berdekatan dengan yang kuat. Tukang sapu dan tukang sampah memiliki kedudukan yang sama di antara kebanyakan manusia lain.”
Saya bayangkan sebuah jeda sejenak.
“Sayangnya, semua itu tidak kita aplikasikan di luar masjid,” kata Syaikh Abbas As-Siisi. “Apakah kalau kamu lewat di jalanan dan bertemu tukang sapu kamu berucap salam padanya?”
Lelaki itu tertegun. “Tidak,” jawabnya.
“Itu karena kamu sebenarnya tidak peduli padanya,” kata Syaikh Abbas As-Siisi menimpali. “Sungguh, Rasulullah Saw. sangat melarang perbuatan demikian.”
Syaikh Abbas As-Siisi lalu mengutip sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Dzar, Nabi Saw. bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga, walau itu sekadar bermuka ceria ketika bertemu saudaramu.” (H.r. Muslim).
Selanjutnya beliau mengajak penanya untuk menerjemahkan hadits tersebut dalam perilaku keseharian dai. “Kalau kamu menyapanya dengan ceria, dengan berucap salam padanya, baik kenal maupun tidak, berarti kamu telah menghargainya dan memberinya rasa optimis dalam menatap kehidupan.”
“Bayangkan, sebelumnya ia merasa dari golongan tersisih, yang tak seorang pun mau memalingkan wajah ke arahnya, tidak seorang pun yang menghargainya, bahkan untuk sekadar berbincang dengannya. Ketika kamu mengucapkan salam kepadanya di suatu hari, maka ia akan menantimu lewat di jalan itu, hanya untuk mendapatkan salam darimu. Ketahuilah, telah banyak orang yang mengabaikan sesuatu yang selama ini ia cari-cari dan dambakan.”
Syaikh Abbas As-Siisi sepertinya mengajari kita untuk memiliki “naluri sebagai seorang dai”. Apa itu?
Pertama, memandang setiap orang penting dan berharga. Mereka layak dan berhak untuk menerima sentuhan dakwah dari para dai dan murabbi. Kedua, senantiasa menjadikan setiap perjumpaan sebagai ruang tegur sapa untuk membangun kedekatan dengan mad’u.
Ada banyak situasi ketika para dai berada di dekat orang lain. Tetapi seringkali kita memilih untuk diam dan acuh tak acuh dengan sesama. Setiap saat kita ke masjid, tapi mungkin lupa tergerak untuk bertegur sapa dengan jamaah.
Setiap hari kita ke kantor, tapi nyaris tidak pernah berbincang dengan petugas kebersihannya. Setiap waktu kita di sekolah sebagai guru atau pengurus yayasan, tapi mungkin jarang menjalin percakapan yang akrab dan intensif dengan walimurid yang antar jemput anak-anaknya.
Boleh jadi kita anggota dewan yang bolak-balik ke kantor, tapi lupa untuk menjalin hubungan dengan satpam dan penjaga.
Mungkin sebelum merancang banyak program inovasi dan kreatif untuk rekrutmen, salah satu yang perlu untuk kita pulihkan adalah “naluri sebagai dai dan murabbi” dalam diri kita.
#gumregahtarbiyah
#IndonesiaMembina
Comments
Post a Comment