Perihal Kesibukan Kita

 πŸͺ΄πŸͺ΄ πŸ‡² πŸ‡²πŸ‡ΎπŸͺ΄πŸͺ΄


PERIHAL KESIBUKAN KITA

(Seri Indonesia Membina)



@Dwi Budiyanto



Saya selalu teringat pada sore hari yang gerah, ketika Ustadz Cholid Mahmud menjawab pertanyaan seorang akhwat di Gelanggang Pemuda Youth Centre, Sleman, Yogyakarta. 


Saat itu kami berkumpul dalam sebuah daurah untuk para aktivis dakwah mahasiswa. Puluhan tahun yang lalu.


“Ustadz Cholid,” kata akhwat tersebut. “Bagaimana kami mengelola waktu untuk kerja-kerja pelatihan, sementara kami ini sangat sibuk. Ada banyak hal yang harus kami lakukan; kuliah dengan seabrek tugas-tugasnya, organisasi dengan tumpukan amanah-amanahnya, dan sebagainya. Gimana ustadz, cara mengatur waktu dan menyiasatinya.”


“Ya memang,” jawab ustadz Cholid, “Kita tuh sering merasa sibuk. Bahkan, kadangkala merasa melebihi kesibukan Rasulullah Saw.”


Jleb! Saat itu kami tertawa. Mungkin sebenarnya sedang memikirkan diri sendiri. Pertanyaan akhwat itu mewakili perjalanan pikiran yang sering muncul dalam diri kami.


Jawaban Ustadz Cholid Mahmud ringkas, tapi sangat cadas. 


Sesibuk apakah kita? Apakah kesibukan kita benar-benar melampaui kesibukan Rasulullah Saw., ataukah ia tikaman 'rasa sibuk' saja? Sok sibuk, barangkali. Mari kita melihat gambaran sekilas kesibukan Rasulullah Saw. 


Rumusnya 8 S --“Sekarang saya sungguh-sungguh sangat super sibuk sekali”.


Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam “Fi Zhilalil al-Sirah an-Nabawiyah Ghazwatul Badr al-Kubra wa Ghazwatul Uhud” memerinci bahwa Rasulullah Saw. telah memimpin 27 ghazwah (peperangan) dan memberangkatkan sekira 38 sariyah serta ekspedisi. 


Rasulullah SAW. mengatur, menyiapkan, dan mengendalikan semua proyek pertempuran itu dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dua puluh tujuh ghazwah dalam sepuluh tahun, artinya Rasulullah Saw. terlibat dalam pertempuran sebanyak dua hingga tiga kali dalam setahun.


Sekarang mari kita membayangkan betapa sibuknya Rasulullah Saw. Bagaimana kesibukan Beliau Saw. untuk satu pertempuran saja? 


Berapa lama waktu yang digunakan untuk konsolidasi, mobilisasi, latihan tempur, perjalanan, dan seluruh tahapan yang harus dilalui untuk melakukan pertempuran? Bandingkan dengan proyek yang sedang kita garap hari-hari ini, yang ternyata risikonya tak sampai pada kematian, sebagaimana dalam misi perang. 


Untuk satu kali proyek saja, kami terkadang memerlukan beberapa bulan untuk persiapan. Sekali lagi, mari kita bandingkan dengan kesibukan Rasulullah Saw. Dua hingga tiga kali dalam setahun harus memimpin ghazwah. 


Mari kita membayangkan betapa padatnya aktivitas Rasulullah Saw. dan para sahabat untuk satu kali ghazwah saja. Padahal, di tengah kesibukannya, beliau tetap mengajar para sahabat, menerima delegasi, menyimak keluhan dan konsultasi, menyiapkan secara khusus beberapa sahabat yang akan ditugasi dalam misi tertentu, anggota samai keluarga, bahkan sampai bermain dengan anak-anak. 


Sungguh, kesibukan kita tak akan sebanding dengan kesibukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Mungkin keluhan kita saja yang lebih heboh dibanding mereka.


Tak usahlah jauh-jauh, sesekali amati dan renungkan aktivitas ikhwah lain di sekitar kita yang waktunya sangat produktif. Beliau tetap konsisten berdakwah dan membina di tengah tugas-tugas profesinya, memimpin rapat dari banyak tim, menerima banyak tamu, menerima aduan dan membantu mengurai persoalan, berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk dakwah. 


Dari referensi lama, entah masih sering kita baca atau tidak, ada sebagian cerita tentang gambaran kesibukan seorang dai. 


“Sedikit sekali orang yang tahu,” tutur lelaki paruh baya, Hasan namanya. Saat itu, bulan Desember 1938 hampir berakhir. 


“Ketika salah seorang dai keluar dari tempat kerjanya di Kairo pada Kamis sore, tiba-tiba sudah berceramah di El-Minya pada saat 'Isya. Di hari Jumat ia menyampaikan khotbah di Manfaluth. Jumat sorenya kedapatan ceramah di Asyut, setelah 'Isya pada hari itu berdakwah di Sohag, baru kemudian pulang. Pagi-pagi keesokan harinya, dia sudah berada di tempat kerjanya di Kairo, bahkan mendahului rekan kerja yang lain.”


Saking kagumnya dengan aktivitas dai tersebut, lelaki itu mengungkapkan, “Empat forum dakwah di empat kota yang berjauhan bisa dijangkau dalam waktu kurang dari 30 jam pada tahun 1930-an. Lalu ia kembali ke tempat semula dengan tenang dan stamina prima, seraya bertandingkan tahmid untuk hadirat Allah atas taufik yang dianugerahkan kepadanya. Tiada yang merasakannya, kecuali mereka yang mendengarkan dan ikut serta dalam langkah-langkahnya”. Demikianlah yang dicatat dalam risalah Mu'tamar al-Khamis. 


Tidak! Sayangnya, kita akhirnya menjadikan kesibukan sebagai dalih untuk tidak lagi membina dan mentarbiyah. Setiap kali diamanahi kelompok binaan, kita sangat mudah untuk menghindar. 


Terbayang betapa suntuknya setiap pekan berkumpul, menyimak permasalahan mutarabbi, menyiapkan materi kajian, menyambangi mutarabbi, dan beberapa tugas lainnya. Lalu tergambar pula betapa lelahnya di antara tumpukan kerja, kita masih harus mendampingi para mutarabbi.


Ketika orientasi membina tidak lebih kuat dari tarikan-tarikan lainnya, kita akan menjadikan 'kesibukan' sebagai dalih untuk berkelit dari tugas-tugas pembinaan. Disangkanya, mereka yang tekun membina adalah orang-orang yang tak punya kesibukan.


Tak ada dai yang tak sibuk. Jangan pernah mengira, para pegiat dakwah dan murabbi adalah kemiskinan. []


#gumregahtarbiyah #IndonesiaMembina

Comments

Popular posts from this blog

Ringkasan Risalah Al-Aqa'id Hasan Al-Banna

Dokumentasi Sesi Akhir dan Wisuda Sekolah Pembina Batch #1 dan #2 tgl 26 Januari 2025

Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Halaqah dalam Dakwah dan Harakah